Senin, 03 Maret 2014

Metodelogi Penelitian BAB I (Gizi Buruk Balita di Provinsi NTB)

BAB I
PENDAHULUAN







A. Latar Belakang Masalah
          Derajat kesehatan yang tinggi dalam pembangunan ditujukan untuk manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Salah satu unsur penting dari kesehatan adalah masalah gizi. Asupan gizi buruk pada 1000 hari pertama kehidupan, atau sejak kehamilan sampai bayi berusia dua tahun, bisa membuat anak mengalami gangguan kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kekurangan gizi pada anak dapat menjadi pemicu tingginya angka kematian pada balita.
          Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai disuatu daerah (kabupaten/kota) pada tahun 2015, yaitu terjadinya penurunan prevalensi balita gizi buruk menjadi 3,6 persen atau kekurangan gizi pada anak balita menjadi 15,5 persen (Bappenas, 2010). Kondisi gizi anak balita Indonesia rata-rata lebih buruk dibanding gizi anak-anak dunia dan bahkan juga dari anak balita Afrika (Anonim, 2006). Tercatat satu dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas nutrisi. Sebuah riset juga menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap tahun karena kekurangan gizi serta buruknya kualitas makanan (Anonim, 2008). Badan kesehatan dunia (WHO) tahun 2011 memperkirakan bahwa 54 persen kematian anak disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Sementara masalah gizi di Indonesia mengakibatkan lebih dari 80 persen kematian anak.
          Menurut Kepala Dinas Kesehatan NTB, dr Ismail, melalui Kabid Bina Keluarga Dikes NTB, Khairul Anwar SKM, data yang dihimpun selama tahun 2006-2007 angka gizi buruk 3,45 persen, (2008) 3,18 persen dan tahun (2009) 4,5 persen, sementara data tahun 2010 belum terdata seluruhnya, namun angka gizi
buruk tahun 2010 ini dari bulan Januari hingga Juli mencapai 396 orang, dan sebagain besar dinyatakan dalam proses penyembuhan. Dari data tersebut terlihat angka gizi buruk pengurangannya sangat kecil bahkan dalam tahun 2009 angka gizi buruk justru lebih besar dibandingkan tahun 2008 yaitu dari 3,18 % menjadi 4,5 %. Bahkan jika dilihat dari angka kematian akibat kasus gizi buruk terjadi peningkatan yang memprihatinkan . Pada tahun 2006 hanya tercatat 10 anak gizi buruk meninggal, tapi pada tahun 2009 justru meningkat 4 x yaitu 44 orang anak. Berdasarkan data Dinas kesehatan tahun 2006, tercatat 10 anak penderita gizi buruk meninggal Dunia dari 2.465 kasus yang ditemukan, 2007 52 orang meninggal Dunia dari 1.667 kasus, 2008 45 orang meninggal dari 1.207 kasus dan 2009 tercatat 44 orang meninggal dari 926 kasus gizi buruk.
          Pencapaian target MDGs belum maksimal dan belum merata di setiap provinsi. Besarnya prevalensi balita gizi buruk di Indonesia antar provinsi cukup beragam. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9 persen dan kekurangan gizi 17,9 persen. Rentang prevalensi gizi buruk (per 100) di Indonesia adalah 1,4 sampai 11,2, dimana yang terendah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tertinggi pertama di Provinsi Gorontalo dan tertinggi kedua sebesar 10,6 di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Walaupun pada tingkat nasional prevalensi balita kurang gizi telah hampir mencapai target MDGs, namun masih terjadi disparitas antar provinsi, antara perdesaan dan perkotaan, dan antar kelompok sosial-ekonomi. Kasus kematian akibat gizi buruk di Indonesia bukan karena faktor kelaparan, melainkan penyakit penyerta, seperti infeksi saluran penapasan, kelainan jantung, dan diare berat. Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan masalah serius karena sampai menyebabkan kematian lebih dari 20 balita. Untuk itu, petugas kesehatan di NTB diminta memberikan penanganan yang tepat pada balita gizi buruk, terutama meningkatkan daya tahan tubuh mereka. Hal itu dikatakan Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, dan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kemenkes Tjandra Yoga Aditama, secara terpisah, kemarin, di Jakarta. Para pengambil kebijakan di lingkungan Kemenkes itu mengaku terkejut begitu
menerima laporan tingginya angka kematian balita akibat gizi buruk di NTB. “Kasus gizi kurang dan buruk di NTB memang cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lain di negeri kita. Namun, kalau sudah sampai menyebabkan kematian, itu masalah serius,” ujar Nafsiah. Kendati demikian, Kemenkes membantah kasus gizi buruk di NTB diakibatkan kelaparan. “Gizi buruk itu ada dua, karena kelaparan atau penyakit. Di Indonesia tidak ada lagi kasus gizi buruk karena faktor kelaparan,” ujar Direktur Bina Gizi Kesehatan Masyarakat Kemenkes Minarto. Menurutnya, berdasarkan data Kemenkes, penyebab meninggalnya balita tersebut ialah penyakit penyerta, seperti infeksi saluran penapasan, kelainan jantung, dan diare berat. Tjandra menambahkan tingginya tingkat kematian di kalangan penderita gizi buruk akibat daya tahan tubuh mereka yang sangat lemah. Imbasnya, mereka tidak memiliki sistem pertahanan yang baik ketika kuman masuk. Kepala Dinas Kesehatan NTB Moh Ismail mengatakan kasus gizi buruk di NTB disebabkan sebaran jumlah penduduk yang cukup luas sehingga berpengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan. Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi melihat kasus gizi buruk yang muncul belakangan ini tidak semata-mata diakibatkan ketidakmampuan ekonomi keluarga, tetapi lebih pada faktor kelalaian orangtua. “Contohnya, ada penderita gizi buruk yang ibunya justru memiliki gelang emas dan bapaknya merokok dengan santai. Orangtua, kalau makan, lebih mementingkan diri sendiri daripada anaknya,” kata Zainul Majdi seusai memimpin rapat Tim Fasilitasi Forum Koordinasi Pimpinan Daerah Provinsi NTB dalam mewujudkan keamanan, ketenteraman, dan ketertiban umum.
         Menurut Saptawati, masalah gizi buruk masih jadi pekerjaan rumah besar yang dihadapi oleh Indonesia. Tingginya masalah anak penderita gizi buruk disebabkan oleh berbagai faktor yang dialami dalam kehidupan sehari-hari.
          Salah satu faktor yang paling dialami oleh banyak keluarga di Indonesia adalah masalah ekonomi yang rendah. Ekonomi yang sulit, pekerjaan, dan penghasilan yang tak mencukupi, dan mahalnya harga bahan makanan membuat orangtua mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak.
Padahal, usia 1-3 tahun merupakan masa kritis bagi anak untuk mengalami masalah gizi buruk.
          Kondisi rumah dengan sanitasi yang kurang baik akan membuat kesehatan penghuni rumah, khususnya anak-anak, akan terganggu. Sanitasi yang buruk juga akan mencemari berbagai bahan makanan yang akan dimasak.
         Tingkat pendidikan yang rendah membuat orangtua tidak mampu menyediakan asupan yang bergizi bagi anak-anak mereka. "Ibu merupakan kunci dari pemenuhan gizi anak-anak, dan kunci untuk mengatasi gizi buruk," kata Saptawati. Ketidaktahuan akan manfaat pemberian gizi yang cukup pada anak akan membuat orangtua cenderung menganggap gizi bukan hal yang penting. Orangtua sering mengganggap bahwa mereka tahu segala sesuatu, sehingga tidak menyadari bahwa mereka masih membutuhkan bimbingan dari para ahli medis dalam mengatasi masalah gizi dan kesehatan. "Ada persepsi yang salah dari para orangtua ketika mereka datang ke posyandu. Seringkali mereka malas datang karena takut diceramahi dan dimarahi dokter tentang masalah gizi," ujarnya. Perilaku orangtua yang seperti ini membuat anak akan terus berada dalam kondisi gizi buruk dan menyebabkan anak menjadi sering sakit.
          Sementara menurut UNICEF Faktor penyebab gizi buruk dapat dibedakan menjadi dua yakni, penyebab tak langsung seperti kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit infeksi, cacat bawaan, dan menderita penyakit kanker. Sedangkan penyebab langsung yaitu ketersediaan pangan rumah tangga, pola pengasuhan anak, pelayanan kesehatan, serta kesehatan lingkungan.

B. Rumusan Masalah
  Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka rumusan masalahnya adalah : tingangka    kematian balita akibat gizi buruk di Provinsi NTB.
C. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan kejadian balita gizi buruk di Provinsi NTB dalam bentuk perbandingan persentase.
2. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingginya angka kematian balita akibat gizi buruk di Provinsi NTB.
D. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian di atas, maka dapat dikemukakan pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana deskripsi kejadian balita gizi buruk dan faktor-faktor yang berpengaruh di Provinsi NTB?
2. Bagaimana upaya menanggulangi tingginya angka kematian balita akibat gizi buruk di Provinsi NTB?
E. Ruang Lingkup
Penelitian dan pengumpulan data mengenai tingginya angka kematian pada balita gizi buruk di Provinsi NTB ini dilakukan oleh saya sendiri salah satu mahasiswi program studi Kesehatan Masyarakat dari Universitas Ibn Khaldun Bogor, selama periode September – Januari 2014. Dengan ruang lingkup keilmuan yaitu Ilmu Kesehatan Anak dan Ilmu Gizi. Jenis penelitian ini adalah observasional dengan pendekatan case control. Populasi target penelitian ini adalah balita yang berada di daerah-daerah terpencil di Provinsi NTB.
F. Manfaat
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber bacaan bagi para peneliti dimasa yang akan datang.
2. Manfaat Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan bagi Dinas Kesehatan khususnya bagi Dinas Kesehatan Provinsi NTB serta pihak lain dalam menentukan kebijakan untuk menekan dan menangani angka kematian kasus gizi buruk pada anak balita.
3. Manfaat Praktis
Untuk mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan status gizi balita. Serta memberikan informasi kepada masyarakat mengenai faktor-faktor yang berpengaruh pada kasus balita gizi buruk di Provinsi NTB sehingga dapat menjadi upaya untuk menurunkan persentase balita gizi buruk di Provinsi NTB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar